Rabu, 09 Mei 2012

LIFE ISN'T COMPLICATED, BUT YOU ARE

" Marriage is not recommended for complicated person..."

Itu adalah kalimat yang sempat jadi status fesbukku beberapa hari lalu. Gak ada maksud apa-apa sih... cuma waktu itu pengen melakukan penggalauan ke seorang teman baru. Kata kunci dari tulisan itu adalah complicated person. Yups, orangnya. Bukan kehidupannya.

Hidup ini sebenarnya sederhana, sesederhana kalau lapar ya makan, kalau ngantuk ya tidur, kalau capek ya istirahat. Tapi pasti banyak yang nggak setuju dan bilang, "Nggak segampang itu...!!!" Gimana kalau kata-kata itu kita balik, "Ya, sesederhana itu."

Yang bikin segalanya terlihat nggak mudah itu sebenarnya aturan-aturan yang ada di balik solusi-solusi sederhana dalam persoalan hidup. Misalnya, kalau lapar ya makan, tapi makanlah yang menjadi hakmu. Kalau ngantuk ya tidur, tapi selesaikan dulu kewajibanmu. Kalau capek ya istirahat, tapi jangan sampai melalaikanmu. Sederhana kan...??? Sayangnya aturan-aturan sederhana ini tidak dilihat dengan cara sederhana juga melainkan dengan cara ruwet plus alasan-alasan 'cerdas'nya

Aku jadi ingat pertanyaan seorang mahasiswa yang sedang magang di kantor. Pertanyaan dia terkait dengan public speaking. Kurang lebihnya gini :
   "Gimana cara supaya nggak nervous pas ngomong di depan orang banyak?"
   "Ya jangan nervous."
   "Supaya gak nervous?"
   "Ya PD aja."
   "Supaya PD?"
   "Ya jangan nervous."


Mbulet? Memang. Karena sebenarnya hidup ya memang sesederhana itu. Orang-orangnya aja yang bikin ruwet. Life isn't complicated, but you are.....

-didi-
 

Senin, 07 Mei 2012

Pendidikan Agama ala Ibu

Jujur saja, aku sering sedih kalau banyak orang yang saling ngotot demi membela 'harga diri' agama yang dianutnya. Menurutku agama itu agung. Dia sangat berwibawa, berkharisma, sehingga kilau kemuliaan agama itu tak terkalahkan dan tak membutuhkan pembelaan dengan cara salah (yang dianggap benar). Di saat memikirkan agama, aku selalu teringat akan ibu, orang pertama yang mengajariku agama. Beliau adalah perempuan solehah yang mengajari aku tentang agama dengan cara yang sangat sederhana.

Kesederhanaan pertama adalah bagaimana beliau mengajariku mengaji. Haduh, blas nggak mbulet pakai alif fatkah a dan seterusnya, melainkan langsung a i u, ba bi bu, dan seterusnya. Makanya aku paling sumpek kalau disuruh ikut belajar ngaji bareng teman2 di kampung. Bukannya apa-apa, aku gak ngeh dengan metode mereka. Kalau ngeja satu2 sudah bisa dipastikan aku bakal kalah duluan. Ibu juga rajin banget khataman Qur'an. Cengkok2 khas ibu masih terngiang sampai sekarang dan sedikit banyak kalau aku ngaji agak2 niru cara ibu.

Selain tentang ritual, Ibu mengajariku ttg akidah, tauhid, dan pengetahuan2 agama lainnya dengan cara sederhana. Misalnya, saat aku menginjak remaja lalu melanjutkan kuliah di luar kota, Ibu selalu menekankan. "Nduk, jangan pernah kamu main ke rumah laki2. Biarkan dia kalau butuh yang mencarimu." Lalu juga ibu menegaskan berulang-ulang untuk aku mencari jodoh seiman. Ibu tidak berbicara tentang ayat atau tentang surga-neraka. Ibu malah pernah bilang, "Pokoknya kamu cari suami yang Islam. Sholatnya bolong2 ya terserah, pokoknya Islam, bisa syahadat."

Awalnya aku mengamini tanpa analisa dan mendalami kata2 Ibu karena toh pada perkembangannya sebagai manusia yang bertumbuh aku pun mencari pengetahuan agama secara mandiri. Namun setelah sekian lama mencoba menganalisa, aku akhirnya paham mengapa aku harus menikah dengan laki2 seiman. Bukan masalah apapun agamamu Tuhan tetap sama, melainkan lebih kepada bagaimana kita menjalankan keyakinan itu secara total. Kebayang jika terjadi pernikahan dengan agama yang berbeda, sebagai perempuan aku dirugikan karena meski sah di mata hukum (ke luar negeri dulu kale :D) namun di mata agama aku terhitung berzina. Belum lagi seandainya aku melahirkan anak, siapa yang ngadzanin? 

Itu kalau dari sisi si perempuan. Bagaimana kalau dari sisi cowok? Kebayang nggak sih saat anakmu dilahirkan tiba2 pihak si ibu tidak mengizinkan sang ayah ngadzanin anaknya dengan alasan biar si anak menentukan apa agama yang akan dia anut. JLEBB...

So, jangan suruh aku sampaikan ayat2 dan jangan kau ukur sejauh mana aku menjalankan agama termasuk ibadahku. Yang jelas ibuku mengajarkan agama dengan caranya yang sederhana karena sebenarnya apapun agama yang kamu anut itu semua sederhana dibalik keagungan agama itu sendiri. 

-didi-

Rabu, 02 Mei 2012

MINYAK dan AIR di Radio

Ngomongin radio itu gak bakalan ada habisnya. Dari pahit2nya sampai manis2nya. Salah satu 'kepahitan' di dunia radio adalah 'perseteruan' antara divisi sales dan program. Semuanya aku beri tanda kutip ya...karena sebenernya sih nggak gitu2 amat, tapi memang perseteruan itu ada, meski terkadang samar.

Yang kerja di radio pasti ngerti lah, gimana seringkali 2 divisi ini seperti minyak dan air, tapi sebenarnya sama2 dibutuhkan.  Kenapa aku bilang seperti minyak dan air? Karena dua2nya penting tapi untuk menyatukan visi, misi, dan kinerja keduanya nggak gampang. Sering terjadi divisi program nuding sales nggak bisa jualan. Sales balas nuding kalau program yang dibuat itu jelek, jadi nggak bisa dijual. Belum lagi kalau sales bilang bahwa tanpa mereka maka radio itu mati karena nggak ada pemasukan, sementara program bilang sales juga nggak bisa makan kalau nggak ada program yang dijual. Belum lagi friksi2 yang sebenarnya printhilan kecil2 nggak penting yang seringkali berujung baratayudha antara sales dan program. Nah, dari gambaran itu saja sih sebenarnya sudah terlihat bahwa sebenarnya sales dan program itu SAMA-SAMA PENTING dan SAMA-SAMA MEMBUTUHKAN, tapi sama2 meninggikan ego dengan merasa lebih penting dari divisi yang lain.

Teorinya sih seharusnya mereka memang nggak perlu berantem, tapi prakteknya? Barusan aku ngalamin sendiri. Barusan ini maksudnya adalah hari ini, baru aja aku alami, betapa diskriminatifnya perusahaan menghargai divisi program. Bayangin aja, gaji untuk AE sekitar 2 jutaan, sementara penyiar part time mendapatkan honor/jam HANYA 7 ribu rupiah. Sempat tadi hitung-hitungan, sebulan paling mentok si penyiar part time dapat nggak sampai sejuta, sekitar 600 ribuan. 

Njiiirrr.... rada-rada gimana deh kalau aku disuruh ngoceh per jamnya cuma dibayar segitu, sementara AEnya dapat 2 jutaan. Akhirnya aku mikir, bener juga sih apa yang diributkan teman2 di milis praktisiradio, terutama ama si @BonnyPrasetia . Di radio penggajian itu nggak ada standarnya, apalagi jika keuangan radio itu hanya bergantung pada pemasukan iklan. Di situlah divisi sales berasa jadi dewa, dan karena radio itu sangat butuh uang, nggak heran kalau akhirnya banting2an harga iklan terjadi. Iklan yang masuk banyak, tapi duitnya sedikit. Si penyiar pun pasrah dapat honor cuma segitu. Kalau udah gini pasrahlah divisi program. Terserah deh, pokoknya masih bisa pulang bawa uang....

Kalau hal ini terjadi (dan memang sudah terjadi) muncul pertanyaan. Whoi.... manajemen radiomu gimana sih? Kamu cuma menghambur-hamburkan space (berupa frekuensi) yang kamu punya dalam bentuk jualan gak jelas juntrungannya. Pihak manajemen pun berteriak, "Whoiii.... kami cuma nurutin kehendak owner." Dan ownerpun dengan anteng berkata, "Trus maumu apa? Nggak nurutin aku yang nggaji kamu? Ya sana toh cari radio lain."

Wah, kalau kejadiannya kayak gini sih aku mending mecat perusahaan ini. Mengapa? Karena perusahaan ini nggak berhasil membuat divisi sales dan program menjadi sinergi yang luar biasa. Cobalah minyak dan air ini disatukan dalam belanga, ditambah bumbu, masukkan daging, tambahkan sayur, jadilah dia masakan yang lezat. Radio juga gitu. Kawinkan divisi sales dan program. Serasikan. Samakan irama langkahnya. Maka mereka akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Selama pihak manajemen masih menganaktirikan salah satu divisi, radio itu nggak bakalan maju, sampai kapanpun. 

So.... masih ngerasa divisimu di radio paling penting? Basi....!!! 

-didi-

Selasa, 01 Mei 2012

INI RADIOKU. (Bagaimana) RADIOMU ?

Aku adalah salah satu anggota milis praktisiradio. Aku ingat waktu pertama kali Bang Harley bikin milis ini dan memaksa aku (memaksa, bukan 'memaksa') untuk jadi anggotanya. Jadilah aku punya nomor punggung FDR 030. Termasuk anggota awal, mengingat saat ini anggota milis sudah tembus 500.

Waktu awal-awal berdiskusi di milis ini, aku langsung berantem sama Agung Pindang. Menurutku orang ini nggapleki banget! Sampai akhirnya kami ketemuan di summit pertama di Jogja, lanjut ngobrol di summit ke 2, dan akhirnya jadi teman diskusi yang gayeng saat aku bertugas di Semarang. 

Selain mengikuti milis praktisiradio, meski nggak terlalu intens, aku juga ngikutin twit2 anak2 radio plus ngobrol2 langsung. Kesimpulan sementaraku dari pengembaraan di milis, twitter, bahkan obrolan adalah : Nggak pas kalau kamu mengklaim radiomu beserta sistemnya sebagai yang terbaik! (puih, pakai tanda seru :D).

Kenapa gitu? Masing2 radio dengan segala sistem dan kebijakaannya pasti dibuat atas kepentingan si radio itu sendiri. Saat satu sistem, style, kebijakan program dan marketing sudah dicanangkan oleh satu radio, pasti si pengambil keputusan sudah tahu akan dibawa kemana radio ybs. Contoh, ada radio yang konsisten menjadi hits maker, ada juga radio yang hanya memutarkan lagu2 yang hits berulang2. Ada radio dewasa yang memutuskan untuk menjadikan informasi sebagai konten utamanya, ada juga radio yang hanya memutarkan lagu2 dan info2 ringan. Ada radio yang mematok rate iklan dengan harga istimewa -mahalnya-, ada juga radio yang sudah merasa cukup dengan subsidi owner dan rate iklan ala kadarnya asalkan para karyawan bisa makan. Every station has their own policy.

Mungkin kita gerah dan marah dengan radio yang menjatuhkan harga iklan dengan pasang rate rendah, tapi tanpa radio beginian apa indikator bahwa posisi radio kita lebih tinggi? Jika ada radio yang hanya memutarkan lagu2 yang sudah hits, apakah 'kasta' radio2 seperti ini lebih rendah dr radio2 hits maker? Toh billing iklan sama2 tinggi. Apakah radio dewasa yang hanya memutar lagu, iklan, dan info ringan bisa dinilai tidak bermutu jika dibandingkan dengan radio2 yang menyiarkan informasi aktual terbaru?

So... suka tidak suka, hargailah policy radio lain tanpa kita harus menjelekkan, mencemooh, maupun mencibir ke radio2 yang dianggap lebih rendah 'kasta'nya. Jadi ingat obrolan dengan Mas Errol Jonathan dua tahun lalu di Semarang, "Bisa dibayangkan jika Suara Surabaya menurunkan rate iklannya, otomatis harga iklan di radio2 Surabaya juga akan jatuh." Nah... berarti antar radio itu seharusnya bisa seperti Yin-Yang toh? Saling support tanpa harus menjatuhan satu sama lain. Bisa kan? Ini radioku. (Bagaimana) Radiomu?


-didi-