Kemarin akhirnya keturutan nonton 5CM. Memang dari awal penasaran sama film ini
setelah talkshow sama novelis dan beberapa pemerannya. Apalagi saat diceritakan
tentang tingkat kesulitan pembuatan film ini. Lumayan ngiler pengen nonton.
Tapi nggak terlalu ngoyo untuk nonton di awal-awal film ini dirilis sih, males
ngantrinya. Telat gak papa, yang penting sah…eh….nonton…. :D
Saat novel 5CM terbit
dan meledak, aku cuma baca resensinya. Fine, tentang persahabatan. Tertarik juga
sih untuk membacanya, tapi akhirnya nggak keturutan, sampai akhirnya lupa bahwa
novel ini pernah ada. Baru ingat lagi ya pas talkshow tentang film ini.
Di saat banyak orang memperbincangkan film ini dari sudut
keindahan Mahameru dan indahnya persahabatan, tiba-tiba aku tersentak saat
menonton bagian di Ranukumbolo, saat Genta menyatakan cinta kepada Riani dan
ternyata sang wanita justru menyarangkan cintanya pada Zafran. Untuk yang sudah
membaca novelnya, mungkin bagian ini biasa-biasa saja karena memang sudah tahu.
Tapi untuk aku yang tidak mengikuti ceritanya, tiba-tiba ada rasa sakit yang
sangat dalam pas nonton scene ini. Kaget. Parah. Bukan pengalaman pribadi sih,
tapi entah mengapa emosi ini tiba-tiba teraduk-aduk dengan putaran yang sangat
dahsyat, sampai-sampai dalam perjalanan pulang aku sering menggelengkan kepala.
Antara kaget sekaligus mengenyahkan rasa tidak enak itu.
Persahabatan vs Cinta. Satu epic basi yang masih diminati
(atau dinikmati?) hingga sekarang. Terlepas dari film 5CM, aku ingat kata-kata
sahabat kuliahku, “Nggak ada itu yang namanya
persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Pasti ada percikan-percikan
rasa di antara mereka.” Aku yang saat itu punya sahabat laki-laki merasa
pernyataan itu tidak benar, sampai akhirnya baru terasa kebenarannya saat
beberapa kali sahabat laki-lakiku akhirnya naksir, atau sebaliknya (aku dengan
sahabat yang beda tentunya).
Beberapa kali akhirnya aku terjebak dengan perasaan suka
dengan sahabat laki-lakiku dan mati-matian melawannya atas nama persahabatan.
Saat di Semarang dulu ada sahabat laki-laki yang naksir aku, aku sampai
bingung. Diterima kok ya nggak mungkin, wong aku nggak punya perasaan lebih
sama dia. Ditolak kok ya aku nggak mau kehilangan kenyamanan-kenyamanan bersama
dia. Untung saja waktu itu akhirnya aku pulang ke Surabaya. Aman.
Pernah juga persahabatan tercemari perasaan cinta yang
akhirnya membuat kedua belah pihak malah jadi kaya orang ling-lung, soalnya
perasaan saling berbalas. Bingung, lha wong ini satu hubungan yang nggak mungkin
banget. Terwujudlah yang namanya HTS alias Hubungan Tanpa Status.
Runtang-runtung kesana-kemari bebarengan kaya orang pacaran, sayang-sayangan.
Sampai akhirnya tiba di satu titik yang membuat kami akhirnya sadar bahwa ini
benar-benar nggak mungkin. Break up-nya benar-benar kayak orang pacaran. Ya
patah hatinya, ya hancurnya, ya mata bengapnya. Kerugiannya sangat besar.
Kehilangan ‘pacar’ sekaligus sahabat. Terakhir aku bertemu dia di lift suatu
tempat, kami sama-sama tertegun dan nggak bisa berkata-kata banyak. Kaku.
Sampai sekarang kami tidak saling mengontak lagi (meski sebenarnya bisa sih,
kalau niat :p).
Tapi hal yang paling menyakitkan adalah saat kita menyintai
sahabat kita, sementara dia menyintai orang lain. Haduh…. sakitnya minta ampun.
Disuntik heroin kayaknya nggak mempan, rasanya mending disuntik mati deh.
Ciyus! Sempat berada di posisi itu. Sebenarnya nggak terima, tapi kok ya kita
nggak bisa berbuat apa-apa, lha wong dia memang nggak membalas cinta kita.
Tibalah kita di tengah-tengah pilihan yang sama sulitnya ;
1.
Apakah memutuskan persahabatan demi
menyelamatkan perasaan kita? Ini nggak enaknya adalah kita harus sadar bahwa
itu berarti selain kehilangan sahabat, kita juga kehilangan
kenyamanan-kenyamanan yang sudah terjalin dalam persahabatan. Patah hatinya
sama dengan kita putus dengan pasangan.
2.
Apakah kita tetap bersahabat dengan hati yang
teriris-iris? Memang waktu akan menyembuhkan luka hati kita sampai akhirnya
kita bisa nerima kenyataan bahwa sahabat yang kita cintai sudah menyarangkan hatinya
kepada orang lain. Tapi sampai kapan? Apa kamu sanggup menghadapi curhatan
sahabatmu tentang pasangannya, sementara dalam hati kamu bernyanyi,
“Kau…harusnya memilih akuuuuuu.” Sanggup? Kalau sanggup ya nggak papa. Kalau
aku sih nggak sanggup.
Yups. Sepertinya aku memilih opsi pertama. Aku punya hati
dan kehidupan yang harus diselamatkan. Aku lebih memilih untuk memutuskan
persahabatan hingga akhirnya aku benar-benar siap untuk kembali berteman.
Seberapa lama waktu yang kubutuhkan untuk kesiapan itu tentunya tergantung
dengan seberapa dalam kadar cinta dan pengharapanku pada dia. Semakin dalam,
semakin lama.
Oh ya, tadi aku menyebut kata pengharapan. Ya, saat kita
menyintai sahabat, tak dapat dipungkiri bahwa kita akan berharap sewaktu-waktu
sahabat kita pun akan memiliki rasa yang sama. Pengharapan semu inilah yang
akhirnya membunuh kita perlahan-lahan, sementara si sahabat merasa tidak
memberikan harapan karena dia menganggap wajar jika dia baik kepada sahabatnya.
Ah…. kamu buta, sahabat…!!!
So, persahabatan vs cinta, akan selalu ada. Dengan versi
yang berbeda-beda tentunya. Bagaimana versimu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar