Tibalah kita ke patah hati ke tujuh. Lumayan parah kalau
sama yang ini. Mungkin aku yang keGRan, merasa cinta berbalas, tapi dari body
language benar-benar nyata bahwa dia juga punya perasaan yang sama, tapi kami
sama-sama menahan karena…..dia sudah beristri….. Seorang teman sampai bertanya
dengan nada tinggi, “Memang kamu mau jadi istri kedua dia? Dia bekerja keras
dan semua hasil kerja keras dia masuk ke dompet bininya?” Pertanyaan menohok dan
nggak pengen kujawab. Adalah kehilangan yang sangat besar saat akhirnya dia
pindah ke Bandung. Di hari-hari terakhirnya di Surabaya, kami berusaha untuk
sering bertemu. Bahkan saat nggak ada rencana bertemu pun, telepon dia sering
salah sambung ke hapeku. Dan ketika perpisahan itu benar-benar terjadi, rasanya
separuh nyawa ikut pergi.
Saat awal-awal berpisah, badan ini rasanya pengen terbang ke
Bandung, tapi nggak mungkin kan? Konyolnya, dua tahun setelah itu seorang
sahabat, yang memang tahu cerita kami, bilang kalau sebenarnya laki-laki itu
sepertinya juga ada rasa. Wuiiihhh…. rasa yang sudah sempat terpendam akhirnya
meletup-letup lagi. Dan akhirnya tahun itu (kronologi waktu ditutup yaaaaa…)
aku ada kesempatan jalan-jalan ke Bandung. Dan di sanalah kami bertemu lagi. Orangnya
tambah ganteng, masih anteng… benar-benar pria tenang menghanyutkan. Kami
bertemu dari pagi sampai malam, ngobrol A-Z, sampai akhirnya kami masuk ke
pembicaraan yang selama ini selalu kami hindari, yaitu tentang keluarga. Saat
itulah terbuka fakta bahwa dia dan istrinya akhirnya dikaruniai seorang anak
setelah penantian selama 14 tahun.
Malam itu aku menangis. Sudah lama nggak pernah patah hati
sampai remuk berserpih-serpih. Emosi yang campur aduk, antara bahagia karena
akhirnya bertemu setelah sekian lama, serta bahagia sekaligus sedih mengetahui
akhirnya dia kembali bahagia bersama istri dan anaknya yang baru lahir. Keesokan
harinya saat berangkat ke Jakarta, air mata tumpah di sepanjang perjalanan.
Sakit. Perih. Satu lagi buku yang akhirnya harus ditutup. Hal terunik yang
kualami adalah saat beberapa bulan berikutnya aku kembali ke Bandung, tak
sengaja kami bertemu di tempat kami bertemu sebelumnya. Kaget. Benar-benar
seperti film India yang slow motion. Dan itulah pertemuan terakhir kami. Sampai
sekarang pun tak pernah terkontak lagi….
Dalam ya…. Tapi kalau memang nggak jodoh apa ya memang harus
dipaksa? Nggak kan? Life must go on. Dan apakah setelah itu aku masuk zona
bebas patah hati? Enggak juga. Masih sempat mengalami patah hati lagi. Yang ke
delapan. Lumayan parah dan memang bikin berantem, karena sebagai teman aku
merasa dimanfaatkan. Sakit sih, cuma lama-lama sudah kebal sama yang namanya
patah hati, jadi malah mati rasa.
Nah, itu sedikit kilas balik tentang patah hati yang pernah
aku alami. Mungkin pas mengalaminya memang terasa sakit, tapi saat menulis
ulang peristiwa-peristiwa itu, yang ada malah cengar-cengir sendiri, mengingat
kenangan-kenangan manis dan pahit bersama mereka yang sudah menyumbangkan warna
dalam kehidupanku. Patah hati memang menyakitkan….tapi lebih menyakitkan lagi
kalau sepanjang hidup tidak pernah mengalami yang namanya jatuh cinta. Betul
tidak…???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar