Peristiwa kedua aku alami sendiri saat masih kost di
Semarang. Waktu itu aku tidak punya uang untuk makan, sehingga teman-teman kost
yang sudah bekerja sepakat untuk mengumpulkan uang belanja dan aku ditugasi
untuk memasak, sehingga aku pun bisa ikut makan. Suatu hari, aku memasak kerang
rebus dengan cara yang berbeda dengan biasanya orang-orang memasak. Salah satu
yang menikmati masakanku adalah tunangan teman kost-ku. Terang-terangan dia
bilang, “Wah, ini kok enak. (lalu bicara ke tunangannya) Kamu belajar masak
sama Nining aja, wong masakanmu gak enak gitu.” Temanku langsung cemberut, aku
pun merasa nggak nyaman. Entah berapa lama mereka sempat perang dingin, yang
jelas sejak saat itu aku sering ngilang pas mereka makan. Tapi beberapa waktu
lalu waktu aku main ke rumah mereka, si istri sudah pintar memasak, bahkan masakan
yang terumit sekalipun.
Dulu, waktu ibu bercerita dan aku mengalami kejadian bersama
temanku itu, aku merasa bahwa reaksi ibu dan temanku berlebihan. Namun saat aku
mengalaminya sendiri, akhirnya aku bisa paham bagaimana rasanya dibandingkan
dengan perempuan lain, meski dengan tujuan baik sekalipun. Swear, rasanya nggak
enak! Sekali lagi, bukan marah, melainkan sedih, priceless, kecewa, dan
perasaan-perasaan nggak enak lainnya.
Obrolan kemarin itu tidak semata-mata tentang sambal,
melainkan bagaimana pesan itu semestinya disampaikan. Seandainya saat itu suami
bilang, “Eh, tadi siang itu aku makan sambel enak. Modelnya bla…bla…bla…
Temenku bikin sendiri sih, tapi kadang-kadang dijual juga,” tentunya ‘rasa’ di
hati ini akan berbeda, meski inti pesannya sama. Mengapa? Karena yang
dibicarakan di sini adalah objeknya, yaitu sambal, bukan si pembuat sambal.
Sepele? Ya, bahkan bisa jadi laki-laki menganggap bahwa hal
ini adalah tidak penting dan terlalu dibesar-besarkan. Tapi itulah perempuan.
Dia ingin menjadi ratu yang hanya satu-satunya di hati sang lelaki, dalam hal
apapun. Apalagi aku pribadi adalah pelaku kuliner yang setiap hari membuat
sambal yang unfortunately suamiku nggak doyan sambal buatanku dan memilih
membuat sambal sendiri. Bisa dibayangin kan pas dibandingin sama perempuan lain
kaya gitu rasanya mak dhieeeeeeng….
But sutra lah…. Laki-laki dan perempuan memang beda. Tinggal
bagaimana mereka bisa memahami dan menipiskan perbedaan itu. (Meski dalam hati
mbatin, “Sepisan ngkas ngomongno sambele wong liyo maneh, uleg-uleg iso pindah
nang bathuk lho ya…!!! :p)
2 komentar:
Haha...suka baris terakhir mbak..
Benjol...benjol deh..... hahahahaha....
Posting Komentar