Senin, 07 Mei 2012

Pendidikan Agama ala Ibu

Jujur saja, aku sering sedih kalau banyak orang yang saling ngotot demi membela 'harga diri' agama yang dianutnya. Menurutku agama itu agung. Dia sangat berwibawa, berkharisma, sehingga kilau kemuliaan agama itu tak terkalahkan dan tak membutuhkan pembelaan dengan cara salah (yang dianggap benar). Di saat memikirkan agama, aku selalu teringat akan ibu, orang pertama yang mengajariku agama. Beliau adalah perempuan solehah yang mengajari aku tentang agama dengan cara yang sangat sederhana.

Kesederhanaan pertama adalah bagaimana beliau mengajariku mengaji. Haduh, blas nggak mbulet pakai alif fatkah a dan seterusnya, melainkan langsung a i u, ba bi bu, dan seterusnya. Makanya aku paling sumpek kalau disuruh ikut belajar ngaji bareng teman2 di kampung. Bukannya apa-apa, aku gak ngeh dengan metode mereka. Kalau ngeja satu2 sudah bisa dipastikan aku bakal kalah duluan. Ibu juga rajin banget khataman Qur'an. Cengkok2 khas ibu masih terngiang sampai sekarang dan sedikit banyak kalau aku ngaji agak2 niru cara ibu.

Selain tentang ritual, Ibu mengajariku ttg akidah, tauhid, dan pengetahuan2 agama lainnya dengan cara sederhana. Misalnya, saat aku menginjak remaja lalu melanjutkan kuliah di luar kota, Ibu selalu menekankan. "Nduk, jangan pernah kamu main ke rumah laki2. Biarkan dia kalau butuh yang mencarimu." Lalu juga ibu menegaskan berulang-ulang untuk aku mencari jodoh seiman. Ibu tidak berbicara tentang ayat atau tentang surga-neraka. Ibu malah pernah bilang, "Pokoknya kamu cari suami yang Islam. Sholatnya bolong2 ya terserah, pokoknya Islam, bisa syahadat."

Awalnya aku mengamini tanpa analisa dan mendalami kata2 Ibu karena toh pada perkembangannya sebagai manusia yang bertumbuh aku pun mencari pengetahuan agama secara mandiri. Namun setelah sekian lama mencoba menganalisa, aku akhirnya paham mengapa aku harus menikah dengan laki2 seiman. Bukan masalah apapun agamamu Tuhan tetap sama, melainkan lebih kepada bagaimana kita menjalankan keyakinan itu secara total. Kebayang jika terjadi pernikahan dengan agama yang berbeda, sebagai perempuan aku dirugikan karena meski sah di mata hukum (ke luar negeri dulu kale :D) namun di mata agama aku terhitung berzina. Belum lagi seandainya aku melahirkan anak, siapa yang ngadzanin? 

Itu kalau dari sisi si perempuan. Bagaimana kalau dari sisi cowok? Kebayang nggak sih saat anakmu dilahirkan tiba2 pihak si ibu tidak mengizinkan sang ayah ngadzanin anaknya dengan alasan biar si anak menentukan apa agama yang akan dia anut. JLEBB...

So, jangan suruh aku sampaikan ayat2 dan jangan kau ukur sejauh mana aku menjalankan agama termasuk ibadahku. Yang jelas ibuku mengajarkan agama dengan caranya yang sederhana karena sebenarnya apapun agama yang kamu anut itu semua sederhana dibalik keagungan agama itu sendiri. 

-didi-

Tidak ada komentar: