Jumat, 11 Januari 2013

PEREMPUAN = MAHLUK SUBJEKTIF ?

Kemarin sepulang kerja suami bilang, “Eh, tadi pas makan bareng di kantor, si X bawa sambel. Sambelnya enak. Dia bikin sendiri. Biasanya dijual juga…bla…bla…bla…” Blablabla di sini adalah bagaimana suami menceritakan secara detail bagaimana sambel yang dia bilang enak itu. Tanpa tendensi apa pun. Meski tanpa tendensi, entah mengapa ada rasa kurang nyaman di hati. Nggak marah sih, cuma ya itu, nggak enak aja. Sepanjang sisa perjalanan yang hanya sekian meter menuju rumah, tiba-tiba aku teringat kejadian dan cerita serupa. Nggak sama, tapi mirip.

Aku ingat almarhumah ibu pernah cerita betapa marah dan sedihnya ibu saat bapak waktu itu sering membanding-bandingkan ibu dengan kolega perempuannya dalam urusan berbusana, meski mungkin maksud bapak memang ada baiknya, supaya ibu lebih baik dalam ‘ngadi busana’. Bapakku yang pejabat dan priyayi Jawa memang mempunyai standar yang tinggi dalam berpenampilan. Sementara, ibuku yang asli Kalimantan bukan tipe pesolek, meski di mataku sebenarnya tidak ada masalah dalam penampilan ibu. Lebih cantik dari aku, malah. Sementara, perempuan yang sering dibandingkan dengan ibu memang cantik dan sosok perempuan Jawa yang ‘mriyayeni’. Aku dan ibu sering menyebut tipikal perempuan berwajah cantik seperti perempuan itu sebagai tipe wajah wayang. Perbandingan itu terus berlanjut sampai akhirnya tiba pada satu titik dimana ibu sudah tidak tahan lagi dibanding-bandingkan begitu dan meledaklah amarahnya. Setelah peristiwa itu bapak nggak pernah lagi membanding-bandingkan ibu dengan perempuan berwajah wayang itu.


Peristiwa kedua aku alami sendiri saat masih kost di Semarang. Waktu itu aku tidak punya uang untuk makan, sehingga teman-teman kost yang sudah bekerja sepakat untuk mengumpulkan uang belanja dan aku ditugasi untuk memasak, sehingga aku pun bisa ikut makan. Suatu hari, aku memasak kerang rebus dengan cara yang berbeda dengan biasanya orang-orang memasak. Salah satu yang menikmati masakanku adalah tunangan teman kost-ku. Terang-terangan dia bilang, “Wah, ini kok enak. (lalu bicara ke tunangannya) Kamu belajar masak sama Nining aja, wong masakanmu gak enak gitu.” Temanku langsung cemberut, aku pun merasa nggak nyaman. Entah berapa lama mereka sempat perang dingin, yang jelas sejak saat itu aku sering ngilang pas mereka makan. Tapi beberapa waktu lalu waktu aku main ke rumah mereka, si istri sudah pintar memasak, bahkan masakan yang terumit sekalipun. 

Dulu, waktu ibu bercerita dan aku mengalami kejadian bersama temanku itu, aku merasa bahwa reaksi ibu dan temanku berlebihan. Namun saat aku mengalaminya sendiri, akhirnya aku bisa paham bagaimana rasanya dibandingkan dengan perempuan lain, meski dengan tujuan baik sekalipun. Swear, rasanya nggak enak! Sekali lagi, bukan marah, melainkan sedih, priceless, kecewa, dan perasaan-perasaan nggak enak lainnya.

Obrolan kemarin itu tidak semata-mata tentang sambal, melainkan bagaimana pesan itu semestinya disampaikan. Seandainya saat itu suami bilang, “Eh, tadi siang itu aku makan sambel enak. Modelnya bla…bla…bla… Temenku bikin sendiri sih, tapi kadang-kadang dijual juga,” tentunya ‘rasa’ di hati ini akan berbeda, meski inti pesannya sama. Mengapa? Karena yang dibicarakan di sini adalah objeknya, yaitu sambal, bukan si pembuat sambal.

Sepele? Ya, bahkan bisa jadi laki-laki menganggap bahwa hal ini adalah tidak penting dan terlalu dibesar-besarkan. Tapi itulah perempuan. Dia ingin menjadi ratu yang hanya satu-satunya di hati sang lelaki, dalam hal apapun. Apalagi aku pribadi adalah pelaku kuliner yang setiap hari membuat sambal yang unfortunately suamiku nggak doyan sambal buatanku dan memilih membuat sambal sendiri. Bisa dibayangin kan pas dibandingin sama perempuan lain kaya gitu rasanya mak dhieeeeeeng….

But sutra lah…. Laki-laki dan perempuan memang beda. Tinggal bagaimana mereka bisa memahami dan menipiskan perbedaan itu. (Meski dalam hati mbatin, “Sepisan ngkas ngomongno sambele wong liyo maneh, uleg-uleg iso pindah nang bathuk lho ya…!!! :p)

2 komentar:

La Petite Juli mengatakan...

Haha...suka baris terakhir mbak..

DiaryPenyiarDodol mengatakan...

Benjol...benjol deh..... hahahahaha....