Meninggalnya
Mbak Nungky kemarin mau tidak mau membawaku kembali berpikir tentang kematian.
Mbak Nungky meninggal dengan meninggalkan nama, personal brand, signature,
tetenger, atau apalah namanya. Memang,
beliau memulai karier 10 tahun lebih dulu dari aku, dan mental pecundangku
pasti akan mengatakan, “Ya jelas, lha
wong dia lebih matang pengalamannya daripada aku. Makanya dia bisa lebih ngetop.” Tapi kali ini mental
pemenangku mengatakan, “Mbak Nungky bisa. Kamu pasti juga bisa. Cari jalannya sampan
kamu menemukan signature-mu sendiri!”
Nggak habis-habisnya aku berpikir, kok sampai
seumuran sekarang aku belum punya signature
apa-apa ya? Dulu nulis sering dimuat, tapi banyak yang nggak tahu. Bikin buku
pakai nama sendiri ya gak kelar-kelar. Jadi penyiar ya nggak semua orang kenal.
Nyanyi yo pales. Akhirnya muncul pertanyaan dalam diri
sendiri, “Lha kamu pengen mati dikenal sebagai apa atau orang yang bagaimana,
Ning?” Ya embuh…. aku cuma pengen mati seperti Ibu. Khusnul Khatimah, bersih,
nggak ngerepoti orang, banyak yang mendoakan, dan ujung-ujungnya surga. Dan
aku yakin pasti banyak yang ngomong, "yo akeh tunggale, Niiiiiiing…."
Ya…
memang bukan itu maksudku. Aku hanya merasa belum ada catatan baik yang aku
torehkan. Aku bukan orang baik yang disayang banyak orang, belum banyak orang
yang mendapatkan manfaat dari aku, belum ada orang yang terinspirasi dari
hidupku. Kalau itu semua memang belum ada, bagaimana orang dapat mengenang kita?
Teringat
saat-saat berkumpul bersama keluarga besar. Setiap waktu makan-makan dan ada
sambal, semua orang langsung teringat sambal ibuku dan langsung terkenang semua
ucapan dan tingkah polah Ibu yang memang selalu berhasil menyegarkan suasana di
manapun berada. Ibu sudah membuat signature-nya
yang memang lahir dari kesabaran. keceriaan, dan kebaikan hatinya. Waktu ibu
meninggal, orang-orang banyak yang tersenyum mengantarkannya karena begitu
banyak kenangan manis bersama Ibu yang membuat mereka memilih untuk tersenyum
daripada menangis.Bahkan teman-teman kerja di radio lamaku ikut mengantar Ibu meski mereka tidak kenal secara langsung hanya karena mereka menyukai sup buntut yang pernah dibuatkan ibuku.
Berbanding
terbalik saat aku depresi dan pernah ditangani oleh seorang psikiater dulu.
Saat itu yang terpikir di kepalaku hanyalah MATI. Tak tahu bagaimana caranya,
pokoknya aku ingin mati untuk ‘menghukum’ orang-orang yang sudah menyakiti
hatiku. Aku hanya ingin tahu sebebrapa pentingnya aku bagi mereka. Apakah
mereka akan menangisi aku atau malah bersyukur aku dengan ‘sukarela’
meninggalkan dunia ini. Sadar bahwa aku sudah mencapai titik kritisku, aku pun
mendatangi seorang psikiater yang akhirnya membantuku. Dan proses penyembuhanku
ini pun kulakukan sendiri, bahkan orang tuaku pun nggak tahu. *sekaligus aku masih bingung kenapa dulu pernah pengen bunuh diri*
Sekarang
sih aku belum mau mati, tapi sering terpikir saat aku mati nanti akankah
orang-orang menangis atau tersenyum? Siapa orang yang akan paling menangisi
aku? Siapakah yang paling bersukur akan kematianku? Akankah banyak orang yang
mengantarkan kepergianku hingga liang lahat? Akankah aku sudah meninggalkan signature sehingga media pun akan
meliput kematianku? Banyakkah orang yang akan mengucapkan selamat tinggal di
akun-akun socmed-ku? Aku akan mati dalam keadaan apa? Pengennya sih
aku tetap cantik seperti saat Ibuku meninggal dulu.
Ah….. terlalu banyak pikiranku
mengenai kematian yang masih menjadi Misteri Illahi. Hanya satu pertanyaanku….
BILA KU MATI, KENANGAN SEPERTI APA YANG INGIN KAU DAPATKAN DARIKU?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar